Bunda, Pen*s itu apa sih?

My very late post

Siang tadi, saat saya tengah mengenakan jilbab, tiba-tiba saya mendengar Hafizh (3 tahun 5 bulan) bertanya pada bundanya,”Bunda, pen**s bunda gunanya untuk apa?”. Jleb! Kaget? Ohh..tentu saja. Meskipun secara teori kami telah sama-sama tau bahwa suatu saat dia akan bertanya hal-hal berbau seks, tetapi tetap saja ketika dia menanyakannya, hal tersebut menjadi sangat tidak nyaman untuk mendengarkannya.

Setelah mendengar pertanyaan yang ia tujukan kepada Bundanya, saya langsung bersenandung “dududududu…”, yang bermakna “kapok lu! Jawab tu..jawab..”. Hahaha. Dari kamar saya mengintip Bunda dan Hafizh yang sedang berdialog. Lalu apa jawaban Bunda Hafizh?

“Bunda ga punya penis, Fiz. Punya bunda namanya vagina.” Jawab bundanya. Dalam hati saya berkata, “waduh, malah nyebut vagina. Pasti ini anak bakal nanya apa itu vagina.” Dan benarlah dugaan saya, pertanyaan itupun meluncur dari mulut Hafizh. “Vagina itu untuk apa bun?” tanya Hafizh. “Sama kayak penis Hafizh. Penis Hafizh buat apa?” kata bundanya. “Untuk pipis”,jawab Hafizh. “Nah..iya sama. Vagina bunda untuk pipis juga. Letaknya sama-sama di sini”, jawab bunda Hafizh sambil menunjukkan area kemaluan. “Ohh…sama kayak yang dibelakang ini ya bun?”,tanya Hafizh lagi sambil menunjuk area pantat. “Itu pantat, fiz. Letaknya disini, tapikan ga boleh diliatin. Kan ini aurat.” Jawab bunda Hafizh. “Oooo gitu…” kata Hafizh sambil berjalan berlalu dari bundanya dan kembali bermain.

Pertanyaan seksual dari seorang anak itu adalah sebuah keniscayaan. Tinggal menunggu waktu hingga pertanyaan itu meluncur dari bibirnya. Karena memang sudah menjadi naluri seorang anak memiliki rasa ingin tahu tentang berbagai hal. Reaksi orangtua akan sangat menentukan bagaimana ia nantinya, apakah tetap akan menjadi anak yang serba ingin tahu atau mandeg karena orangtua menanggapi pertanyaan-pertanyaanya dengan jawaban yang mematikan rasa ingin tahunya.

Begitu pula reaksi dari orang tua terhadap pertanyaan seksualitas dari seorang anak akan mempengaruhi rasa ingin tahu dan reaksinya terhadap seksualitas. Tidak kita pungkiri, kita adalah generasi yang lahir dan dibesarkan dengan budaya tabu terhadap pembicaraan seksualitas. Ditambah lagi kita adalah orang timur yang sarat dengan sopan santun dan menurut kita membicarakan seksualitas itu adalah sebuah ke-tidaksopanan. Namun relevankah hal itu sekarang? Mengingat kemajuan teknologi yang sangat amat pesat dan semakin meningkatnya kasus pelecahan seksual terlebih yang menimpa anak-anak, maka kitapun harus merubah cara berpikir kita.

Dalam berbagai seminar, Bu Elly Risman yang sangat ahli dalam bidang parenting dan perlindungan anak, selalu berpesan agar orangtua mulai mengedukasi anak-anaknya tentang pendidikan seksualitas. Orangtua diminta terbuka berbicara tentang seksualitas kepada anak-anak sebagai upaya perlindungan diri anak dari kekerasan seksual. Dalam banyak penelitian pun menunjukkan bahwa anak-anak yang mengetahui tentang seksualitas dari orangtuanya langsung akan berperilaku berbeda dengan anak-anak yang mengetahui seksualitas secara otodidak.

Lalu bagaimana cara kita menyampaikan pendidikan seksualitas pada anak-anak sejak dini? Sama halnya dengan keinginan kita mengajarkan anak terhadap suatu keterampilan baru, maka pendidikan seksualitas pun diajarkan dengan menyesuaikan umur dan kesiapan anak. Tidak mungkin anak SD akan diberi pelajaran anak SMP karena itu namanya pemaksaan. Begitu pula pendidikan seks. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah orangtua sebagai pusat informasi anak harus bisa merasa nyaman terlebih dulu ketika berbicara seksualitas karena ini akan berpengaruh dengan cara kita mengkomunikasikannya ke anak. Coba kita bayangkan harus berbicara sesuatu yang membuat kita tidak nyaman, pasti lawan bicarapun akan merasa tidak nyaman dan pada akhirnya pembicaraan sia-sia.

Ya, seperti itulah yang akan terjadi ketika kita menghadapi pertanyaan anak seputar seksual dengan cara yang tenang dan tidak bereaksi terlalu berlebihan. Pertanyaan-pertanyaan anak seputar seksual harusnya memang kita jawab setenang kita menjawab pertanyaan anak tentang hal-hal lainnya. Namun yang sering terjadi, kita bereaksi terlalu berlebihan ketika anak bertanya sesuatu tentang seksualitas. Hal yang sering terjadi adalah kita memarahi anak ketika ia bertanya tentang seksualitas. Bayangan kita sudah terlampau jauh. Padahal belum tentu anak ingin mengetahui sejauh yang kita bayangkan. Anak-anak usia balita itu pertumbuhan otaknya pun belum sempurna. Maka ia hanya bisa menyerap hal-hal yang sederhana. Maka kadang ia hanya butuh jawaban sederhana atas pertanyaannya.

Salah satu tips yang sering diajarkan Ayah Edy dan Bu Elly Risman sebagai pakar parenting saat akan menjawab pertanyaan seksualitas anak adalah dengan menanyakan kembali tantang apa yang sudah ia ketahui mengenai pertanyaannya. Setelah itu, insyaallah kita akan lebih tau jawaban apa yang tepat untuk menjawab pertanyaan seksualitasnya. Dan bila kita tak mampu menjawabnya, maka katakan saja kita tidak tau dan akan mencari tahu terlebih dahulu atau kita bisa menggunakan bantuan dari pihak ketiga yang kita yakini bisa memberi jawaban yang benar dan tepat. Mungkin bisa dengan bantuan dokter anak anda atau rekan anda yang memang memiliki kemampuan tentang hal ini. Tapi yang pasti, jangan sampai anda tidak menjawabnya. Karena ini penting bagi anak untuk selalu menjadikan anda sebagai pusat rujukan informasinya.

Selamat belajar 😉